Ceritra
Ceritra Warga

Obsesinya Tak Selesai: Kenapa Angka di Kertas Masih Menakutkan?

Bagus - Thursday, 30 October 2025 | 03:00 PM

Background
Obsesinya Tak Selesai: Kenapa Angka di Kertas Masih Menakutkan?

Di era skill dan kreativitas, angka di kertas tetap menghantui banyak orang. Meski dunia kerja berubah cepat, obsesi pada nilai rapor ternyata tak ikut memudar. Banyak pelajar—dan bahkan orang dewasa—mengaku masih menilai diri lewat angka yang dulu diserahkan di ruang guru setiap akhir semester.


Fenomena ini muncul dari tekanan lama yang tak ikut bergeser. Orang tua masih menjadikan rapor sebagai patokan masa depan, seolah huruf A dan B bisa meramalkan nasib. “Saya sudah kuliah, tapi tiap lihat adik bagi rapor, dada ikut sesak,” ujar seorang mahasiswa di Surabaya. Pengakuan itu jadi cermin kuat bahwa beban nilai tidak berhenti setelah sekolah.


Beberapa guru juga melihat pola serupa. Murid-murid makin takut salah, takut tidak sempurna. Semua ingin angka tinggi, bahkan ketika mereka sendiri tak yakin belajar apa. “Kadang saya sedih, mereka lebih hafal skor daripada makna pelajaran,” kata seorang guru matematika. Tekanan ini membuat banyak siswa jadi cemas, sibuk mengejar angka, bukan ilmu.


Di media sosial, cerita tentang rapor sering viral. Ada yang membandingkan, ada yang malu mengunggah, ada yang bangga sampai menangis. Efek sosialnya tak kecil: siswa merasa harus “sempurna” di mata publik, bukan berkembang sesuai ritme mereka sendiri. Rapor berubah menjadi panggung—atau penjara.


Pada akhirnya, rapor bukan gambaran penuh tentang manusia. Ia hanya catatan singkat, bukan masa depan. Mungkin sudah waktunya kita berhenti memuja angka, dan mulai melihat proses, usaha, dan keberanian belajar sebagai nilai yang sebenarnya.

Logo Radio
🔴 Radio Live