Pendidikan Seks di Indonesia: Antara Ada dan Tiada
Bagus - Wednesday, 12 November 2025 | 02:00 PM


Coba deh ngaku, kapan terakhir kali kamu ngobrolin soal seks sama orang tuamu, gurumu, atau bahkan teman-temanmu secara terbuka dan nyaman? Kemungkinan besar, jawabannya adalah "jarang banget", atau malah "enggak pernah sama sekali". Kalaupun dibahas, pasti bisik-bisik, dengan ekspresi canggung, atau diselipkan candaan yang sebenarnya enggak lucu-lucu amat. Nah, di sinilah letak masalahnya. Pendidikan seks, topik yang fundamental untuk kesehatan dan keselamatan setiap individu, di Indonesia masih jadi hantu gentayangan: ada tapi tak terlihat, disebut pun bikin merinding. Padahal penting lho, Bro dan Sis!
Gimana enggak penting? Di tengah gempuran informasi yang serba cepat—dan seringkali menyesatkan—anak muda kita justru dibiarkan meraba-raba soal tubuhnya sendiri, soal hubungan, dan soal seksualitas. Ini bukan cuma bikin geleng-geleng kepala, tapi juga bikin miris. Kenapa sih hal sepenting ini masih jadi tabu yang seolah tak boleh disentuh? Mari kita bongkar satu per satu.
Mengapa Pendidikan Seks Begitu Tabu di Negeri Kita?
Banyak faktor yang melilit erat kenapa pendidikan seks ini masih malu-malu kucing. Ibaratnya, udah kayak makan bubur ayam, diaduk apa enggak, ujung-ujungnya tetep jadi perdebatan kusir yang enggak ada habisnya. Pertama dan yang paling sering jadi kambing hitam adalah budaya dan norma sosial kita yang konon "ketimuran". Entah siapa yang bikin definisi persisnya, tapi label ini seringkali diartikan sebagai "jangan membicarakan hal yang dianggap kotor atau vulgar". Seks, dengan segala tetek bengeknya, langsung masuk kategori itu. Alhasil, kita diajari untuk malu, untuk merah padam kalau topik ini muncul di permukaan.
Tak cuma budaya, ada juga faktor agama yang tak bisa dipisahkan. Interpretasi yang ketat seringkali menganggap pembahasan seks di luar konteks pernikahan itu haram hukumnya. Padahal, inti dari banyak ajaran agama sebenarnya adalah melindungi diri dan menjaga kesucian, yang justru bisa difasilitasi lewat pemahaman yang benar, bukan lewat kebodohan. Tapi ya, begitulah. Stigma "dosa" atau "tidak bermoral" langsung melekat bagi siapa saja yang berani-berani membuka obrolan ini.
Orang tua juga banyak yang mati gaya. Mau mulai dari mana? Bagaimana caranya? Takut anak jadi kebablasan dan terjerumus ke hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal, justru ketidaktahuanlah yang seringkali jadi pintu gerbang ke perilaku berisiko. Ironis, bukan? Mereka lebih memilih bungkam, berharap anak akan "tahu sendiri" atau "tidak neko-neko", tanpa menyadari bahwa rasa ingin tahu itu adalah kodrat manusia, dan jika tidak dipenuhi dengan informasi yang benar, maka akan mencari dari sumber lain yang belum tentu valid.
Di sekolah? Jangan harap banyak. Kurikulum kita seringkali menganggap pendidikan seks itu bukan ranahnya, terlalu sensitif, atau takut menimbulkan kontroversi. Paling banter, disisipkan sedikit di pelajaran Biologi dengan penjelasan yang sangat teknis dan steril, tanpa menyentuh aspek emosional, sosial, apalagi etika. Guru-guru pun banyak yang tidak terlatih dan merasa tidak nyaman untuk membahasnya. Jadilah pendidikan seks ini bak anak tiri yang tak diakui, dibiarkan terlantar.
Mengapa Pendidikan Seks Itu Penting, Bukan Sekadar Obrolan "Jorok"
Sekarang, mari kita bicara urgensinya. Ini bukan cuma soal "anu-anuan" doang, lho. Pendidikan seks itu esensial, sama pentingnya dengan pendidikan lainnya. Pertama, dan yang paling krusial, adalah melindungi diri dari bahaya yang mengintai. Kita bicara tentang pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan di usia dini, tentang penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS yang mengerikan, dan tentang kekerasan atau pelecehan seksual. Dengan pemahaman yang benar, seseorang bisa membuat keputusan yang bertanggung jawab dan tahu bagaimana menjaga tubuhnya.
Bayangkan, berapa banyak kasus kehamilan remaja yang bisa dicegah jika mereka punya akses informasi yang akurat tentang kontrasepsi, tentang konsekuensi, dan tentang pentingnya menunda hubungan seksual? Berapa banyak kasus PMS yang bisa ditekan jika mereka paham tentang cara penularan dan pencegahannya? Ini bukan cuma angka, ini adalah nyawa dan masa depan anak-anak muda kita.
Lebih dari itu, pendidikan seks juga membekali individu dengan pemahaman tentang konsep persetujuan (consent). Ini fundamental! Dengan tahu apa itu persetujuan, seseorang jadi paham batasan dirinya dan orang lain, bisa melindungi diri dari pelecehan, dan juga tidak menjadi pelaku. Ini juga membentuk dasar untuk membangun hubungan yang sehat, saling menghargai, dan setara, jauh dari dominasi atau paksaan. Kita jadi paham bahwa "tidak" berarti "tidak", tanpa perlu penjelasan panjang lebar.
Selain itu, pendidikan seks yang komprehensif juga mencakup kesehatan reproduksi, body positivity, dan pemahaman tentang keragaman identitas gender dan orientasi seksual. Ini membantu seseorang untuk menerima dan memahami tubuhnya sendiri, menghargai perbedaan, dan mengurangi stigma terhadap kelompok minoritas. Ini juga penting untuk mental health lho. Banyak masalah kecemasan, rasa malu, hingga depresi yang bisa dihindari jika seseorang memiliki pemahaman yang sehat dan positif tentang seksualitasnya.
Konsekuensi Diamnya Kita: Harga yang Mahal Harus Dibayar
Kalau kita terus-terusan bungkam, siapa yang rugi? Kita semua. Angka kehamilan remaja yang melonjak, kasus aborsi tidak aman, penyebaran PMS yang bikin ngeri, dan yang paling bikin pilu, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan yang terus merajalela. Anak-anak muda yang seharusnya menikmati masa depan cerah, justru harus menanggung beban berat karena minimnya informasi dan perlindungan.
Mereka akhirnya mencari informasi dari sumber yang enggak kredibel, dari teman sebaya yang sama-sama enggak tahu, atau dari internet yang isinya campur aduk. Ujung-ujungnya, bukannya paham, malah jadi sesat pikir dan terjebak dalam mitos-mitos yang menyesatkan. Ini bahaya besar, seperti melepas anak kecil di tengah hutan belantara tanpa bekal dan peta.
Mendobrak Tembok Tabu: Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Baik
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Diam saja? Tentu tidak. Sudah saatnya kita semua—orang tua, pendidik, pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat umum—bersatu untuk mendobrak tembok tabu ini. Mulai dari rumah, Bro dan Sis. Orang tua harus berani membuka obrolan tentang seksualitas dengan anak-anak mereka sejak dini, sesuai dengan usia dan tingkat pemahaman mereka. Jadikan rumah sebagai tempat aman untuk bertanya dan mendapatkan jawaban yang jujur.
Pemerintah dan lembaga pendidikan juga harus mulai serius mengintegrasikan pendidikan seks yang komprehensif dan age-appropriate ke dalam kurikulum. Bukan cuma soal biologi reproduksi, tapi juga mencakup aspek sosial, emosional, etika, dan hak-hak reproduksi. Pelatih guru juga harus ditingkatkan agar mereka nyaman dan mampu menyampaikan materi ini dengan baik. Media juga punya peran besar lho untuk menormalisasi obrolan ini, bukan malah mengeksploitasi atau menyudutkan.
Intinya, pendidikan seks itu bukan tentang mengajarkan "bagaimana" berhubungan seks, tapi tentang "mengapa" harus bertanggung jawab, "bagaimana" melindungi diri, dan "bagaimana" membangun hubungan yang sehat dan saling menghargai. Ini adalah investasi untuk generasi mendatang, investasi untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat, aman, dan berdaya. Sudah saatnya kita berhenti bungkam dan mulai bicara. Jangan biarkan tabu ini terus menjadi penghalang bagi masa depan yang lebih baik.
Next News

Kecemasan Sosial di Era Komunikasi Virtual
7 days ago

Dampak Pendidikan Online pada Perkembangan Remaja: Antara Layar dan Realita yang Makin Jauh?
7 days ago

Mental Health: Bukan Mitos, Bukan Kurang Iman!
7 days ago

Generasi Z: Penjaga Tradisi di Era Digital?
7 days ago

Deru Mesin, Derasnya Hujan: Kisah Pak Budi, Pejuang Ojol yang Tak Kenal Menyerah di Bawah Langit Surabaya
7 days ago

Lawan Short Attention Span! Jauhi Medsos?
7 days ago

Ketika Scroll Jadi Diagnosis: Fenomena Self-Diagnose dari Media Sosial yang Ngeri-Ngeri Sedap
7 days ago

Kota Meluas, Hijau Menciut: Realita Pahit Generasi Kini
7 days ago

Terjebak Paradoks Digital: Koneksi Semu, Hati Hampa
7 days ago

Lagu Lama & Baju Y2K: Gelombang Nostalgia Menghantam!
7 days ago






