Generasi Z: Penjaga Tradisi di Era Digital?
Bagus - Wednesday, 12 November 2025 | 02:00 PM


Dulu, banyak yang khawatir, bahkan sampai taraf pesimis, "Aduh, gimana nih budaya kita ke depan? Anak-anak sekarang cuma sibuk sama gadget, paling juga scroll TikTok doang, mana peduli sama tradisi leluhur." Kekhawatiran itu wajar sih, soalnya dunia digital emang punya daya tarik yang luar biasa, membius siapapun, apalagi generasi yang lahir dan besar di dalamnya. Tapi, pernah kepikiran nggak sih, justru di tangan generasi Z yang katanya 'melek digital' ini, budaya kita malah menemukan panggung baru yang jauh lebih luas dan dinamis? Panggung yang nggak cuma disaksikan di pentas desa atau museum, tapi juga bisa dinikmati milyaran mata di seluruh penjuru dunia.
Generasi Z, atau sering kita sebut Gen Z, adalah kumpulan anak muda yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Mereka adalah penduduk asli dunia digital. Internet, media sosial, dan ponsel pintar itu udah kayak bagian dari DNA mereka. Kalau disuruh hidup tanpa Wi-Fi sehari aja, mungkin rasanya udah kayak diputus dari dunia luar. Dan di sinilah letak keajaiban sekaligus potensi besar yang sering kali luput dari pandangan kita. Mereka nggak cuma jago joget TikTok atau bikin konten receh, lho. Lebih dari itu, jemari lentik mereka di layar gawai punya kekuatan untuk menghidupkan kembali denyut nadi budaya Indonesia yang sempat terkesan 'tua' dan 'ketinggalan zaman'.
Medsos: Dari Sekadar Pamer Jadi Sarana Nguri-uri Budaya
Siapa sangka, platform-platform media sosial yang awalnya didesain untuk bersosialisasi atau pamer kegiatan sehari-hari, kini bertransformasi menjadi galeri seni digital, panggung pertunjukan virtual, hingga perpustakaan sejarah interaktif. Instagram dengan feed estetiknya, TikTok dengan video pendek yang bikin nagih, YouTube dengan format yang lebih panjang, sampai Twitter (sekarang X) untuk obrolan santai, semuanya jadi medium yang potensial. Mereka nggak sekadar posting foto liburan atau outfit of the day. Kini, kita bisa melihat batik yang dipadukan dengan sneakers, tarian daerah yang di-remix dengan musik EDM, atau bahkan resep masakan nenek yang viral karena di-review dengan gaya kekinian oleh food vlogger Gen Z.
Bayangkan saja, dulu untuk belajar tari Pendet, kita harus ikut sanggar dan datang ke tempat latihan fisik. Sekarang? Cukup buka YouTube atau TikTok, kita bisa menemukan puluhan bahkan ratusan tutorial tari Pendet, dari yang versi tradisional sampai yang sudah diadaptasi agar lebih mudah diikuti. Ada penari-penari muda yang nggak ragu memadukan gerakan tari tradisional dengan gaya hip-hop, atau membawakan lagu daerah dengan aransemen musik pop modern. Hasilnya? Budaya jadi lebih segar, nggak kaku, dan yang paling penting, relevan dengan selera Gen Z. Mereka nggak merasa dipaksa, tapi justru tertarik karena kemasan yang relatable.
Transformasi Budaya di Ujung Jari
Contohnya banyak banget dan nggak main-main. Di TikTok misalnya, tren "challenge" seringkali diisi dengan elemen budaya lokal. Tari-tarian daerah yang dikemas ulang menjadi gerakan yang viral, penggunaan kain batik atau tenun sebagai bagian dari fashion challenge, atau bahkan sound dari instrumen tradisional yang dipakai sebagai latar musik video lucu. Ini bukan cuma sekadar ikut-ikutan tren, Guys. Di baliknya, ada semacam semangat 'pamer' identitas yang positif. "Ini lho, budaya kita keren!" begitulah kira-kira teriakan tak langsung mereka.
Lebih jauh lagi, bahasa daerah pun tak luput dari sentuhan Gen Z. Lewat meme, konten komedi, atau bahkan storytelling, mereka menghidupkan kembali kosakata-kosakata lokal yang mungkin sudah jarang dipakai. Guyonan-guyonan khas daerah yang diunggah ke media sosial bisa jadi viral dan melintasi batas-batas geografis. Tiba-tiba saja, kita jadi familiar dengan logat atau idiom dari daerah lain, yang sebelumnya mungkin hanya dikenal di lingkup lokal. Ini adalah bentuk pewarisan bahasa yang paling organik dan tak terduga.
Kuliner tradisional juga ikut kecipratan berkah media sosial. Masakan rumahan atau jajanan pasar yang dulunya hanya dikenal di kalangan tertentu, kini bisa mendunia berkat Gen Z yang doyan banget eksplorasi dan review makanan. Mereka membuat konten yang estetis, informatif, dan tentu saja, bikin ngiler. Alhasil, resep-resep warisan nenek moyang jadi kembali dicari, usaha kuliner tradisional kebanjiran pembeli, dan yang lebih penting, generasi penerus jadi tahu betapa kaya rasa masakan Indonesia.
Lebih dari Sekadar Konten, Ini Soal Identitas
Fenomena ini menunjukkan bahwa bagi Gen Z, budaya itu bukan cuma tontonan atau sesuatu yang harus dipelajari secara formal. Budaya adalah bagian dari identitas mereka, sesuatu yang bisa mereka kreasikan, bagikan, dan banggakan. Mereka melihat budaya sebagai aset, bukan beban. Ketika mereka membagikan konten budaya, mereka bukan hanya sekadar ingin viral, tapi juga ingin terhubung dengan akar mereka, menunjukkan keunikan Indonesia di tengah arus globalisasi yang seragam. Mereka sadar, walaupun mungkin secara tidak langsung, bahwa melestarikan budaya itu penting, dan media sosial adalah alat paling efektif di tangan mereka.
Tentu saja, nggak semua mulus dan tanpa cela. Ada juga tantangannya. Kadang, ada kekhawatiran bahwa budaya jadi terlalu disederhanakan, atau bahkan salah interpretasi. Ada juga yang cuma ikut-ikutan tanpa pemahaman mendalam, ujung-ujungnya cuma jadi 'estetika' tanpa ruh. Di sinilah peran generasi yang lebih tua, para budayawan, dan sesepuh sangat penting: membimbing, mengarahkan, dan berkolaborasi. Bukan malah mencibir atau merasa paling benar. Justru dengan berkolaborasi, pengalaman dan kearifan masa lalu bisa bertemu dengan kreativitas dan inovasi masa kini, menciptakan harmoni yang indah.
Masa Depan Budaya di Tangan Mereka
Jadi, kalau dulu kita pesimis dan sibuk khawatir, sekarang saatnya kita berbalik arah dan mengapresiasi. Gen Z, dengan segala keunikan dan kepiawaian mereka di jagat maya, adalah jembatan emas bagi kelangsungan budaya Indonesia. Mereka bukan cuma pewaris, tapi juga inovator, yang mampu menerjemahkan nilai-nilai luhur ke dalam bahasa yang akrab di era digital. Mereka telah membuktikan bahwa media sosial bukan cuma tempat untuk 'healing' dari penatnya hidup atau 'stalking' mantan, tapi juga bisa jadi wadah 'nguri-uri' adat dan merayakan kebhinekaan.
Budaya kita? Dijamin nggak bakal mati gaya. Justru akan terus berevolusi, relevan, dan 'on point' di tangan mereka. Tinggal kita, sebagai bagian dari masyarakat, memberikan dukungan penuh, panggung yang lebih luas, dan tentu saja, kepercayaan. Karena pada akhirnya, masa depan budaya Indonesia ada di jemari lentik mereka, yang siap mengklik, mengunggah, dan menggetarkan dunia dengan kekayaan warisan leluhur kita.
Next News

Kecemasan Sosial di Era Komunikasi Virtual
7 days ago

Dampak Pendidikan Online pada Perkembangan Remaja: Antara Layar dan Realita yang Makin Jauh?
7 days ago

Pendidikan Seks di Indonesia: Antara Ada dan Tiada
7 days ago

Mental Health: Bukan Mitos, Bukan Kurang Iman!
7 days ago

Deru Mesin, Derasnya Hujan: Kisah Pak Budi, Pejuang Ojol yang Tak Kenal Menyerah di Bawah Langit Surabaya
7 days ago

Lawan Short Attention Span! Jauhi Medsos?
7 days ago

Ketika Scroll Jadi Diagnosis: Fenomena Self-Diagnose dari Media Sosial yang Ngeri-Ngeri Sedap
7 days ago

Kota Meluas, Hijau Menciut: Realita Pahit Generasi Kini
7 days ago

Terjebak Paradoks Digital: Koneksi Semu, Hati Hampa
7 days ago

Lagu Lama & Baju Y2K: Gelombang Nostalgia Menghantam!
7 days ago






