Mental Health: Bukan Mitos, Bukan Kurang Iman!
Bagus - Wednesday, 12 November 2025 | 02:00 PM


Dulu, ngomongin kesehatan mental itu ibarat jalan di atas es tipis. Salah dikit, dicap aneh, sensitif, atau malah yang paling parah: gila. Rasanya, isu ini selalu jadi bahan bisik-bisik di belakang punggung, topik yang sebisa mungkin dihindari, seolah-olah masalah mental itu cuma mitos atau cuma dialami orang-orang yang “kurang iman” atau “kurang bersyukur”. Tapi coba deh lihat sekarang, situasinya sudah jauh berbeda. Kita sekarang berada di tengah-tengah sebuah gelombang kesadaran kesehatan mental yang, jujur saja, bikin lega sekaligus terkadang bikin mikir juga.
Bayangin aja, berapa banyak dari kita yang dulu waktu kecil, kalau lagi sedih atau stres, palingan cuma disuruh "jangan mikir yang aneh-aneh" atau "coba deh lebih deket sama Tuhan"? Bukannya itu solusi yang salah, tapi pendekatan seperti itu seringkali mengabaikan bahwa ada kompleksitas yang lebih dalam di balik emosi dan pikiran manusia. Nah, di era modern ini, narasi itu pelan-pelan tapi pasti mulai bergeser. Sekarang, istilah seperti "burnout", "anxiety attack", "depresi", sampai "healing" udah jadi bagian dari perbendaharaan kata sehari-hari anak muda, bahkan mungkin para orang tua. Ini bukan lagi sesuatu yang cuma dibahas di seminar psikologi yang kaku, tapi sudah merambah ke obrolan di warung kopi, unggahan di Instagram, sampai celotehan di TikTok.
Ketika Medsos Jadi Panggung dan Pandemi Memaksa Kita Introspeksi
Kok bisa sih terjadi pergeseran drastis begini? Ada banyak faktor, tapi kalau boleh dibilang, media sosial itu panggung utamanya, lengkap dengan lampu sorot dan megafonnya. Dulu, orang yang lagi berjuang sama isu mental mungkin merasa sendirian banget, seolah-olah cuma dia yang ngerasain beban seberat itu. Sekarang? Cukup buka Instagram, Twitter, atau TikTok, dan kita bakal nemu banyak banget akun yang membahas kesehatan mental, mulai dari psikiater, psikolog, sampai influencer yang berbagi pengalaman pribadi, bahkan ada yang blak-blakan cerita soal sesi terapinya. Tentu saja, ini pedang bermata dua. Di satu sisi, medsos membuka ruang untuk diskusi, validasi, dan rasa nggak sendirian. Kita jadi tahu bahwa banyak kok yang senasib, banyak yang struggling juga. Tapi di sisi lain, juga rentan sama informasi salah, diagnosis mandiri yang ngaco, atau bahkan cuma jadi ajang performative activism semata, di mana orang-orang ikut-ikutan ngomongin kesehatan mental cuma biar kelihatan relevan atau peduli.
Selain medsos yang bikin kita jadi lebih "melek" isu mental, jangan lupakan peran pandemi COVID-19 yang kemarin sempat bikin dunia jungkir balik. Lock down, isolasi, ketidakpastian ekonomi, sampai ketakutan akan penyakit dan kematian, semuanya itu bener-bener nge-trigger berbagai masalah kesehatan mental. Orang-orang yang tadinya merasa "baik-baik saja" atau "kuat-kuat saja" tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa stres itu nggak cuma bikin pusing kepala, tapi bisa menjalar ke mana-mana, bikin susah tidur, gampang marah, atau kehilangan minat pada hal-hal yang dulu disukai. Pandemi memaksa kita untuk introspeksi, melihat ke dalam diri, dan menyadari bahwa kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Nggak bisa lagi cuma dianggap enteng, disuruh "positif thinking" doang, atau dipendam sendiri sampai meledak.
Dari Stigma "Gila" Menuju "Aku Butuh Bantuan Profesional"
Salah satu perubahan paling signifikan dari gelombang kesadaran ini adalah mulai pudarnya stigma. Ingat kan, dulu kalau denger kata "psikolog" atau "psikiater" langsung mikirnya "wah, ini sih buat orang gila." Label "gila" itu ibarat palu godam yang siap menghantam siapa saja yang berani mengakui butuh bantuan. Akibatnya, banyak yang memilih untuk menderita dalam diam, takut dihakimi atau dijauhi. Tapi sekarang, dengan banyaknya figur publik, selebriti, atlet, atau bahkan teman-teman kita sendiri yang secara terbuka berbagi cerita tentang perjuangan mereka dengan kesehatan mental dan proses terapi, anggapan itu perlahan terkikis.
Mengunjungi psikolog atau psikiater kini bukan lagi hal yang tabu atau tanda kelemahan, tapi sudah mulai jadi bagian dari gaya hidup sehat. Semacam check-up rutin buat pikiran dan perasaan, sama pentingnya dengan cek fisik ke dokter. Orang-orang mulai sadar bahwa ada masalah yang nggak bisa cuma diselesaikan dengan curhat sama teman, mendengarkan motivasi kosong, atau sekadar hiburan semata. Butuh campur tangan profesional yang memang ahli di bidangnya. Dan ini, menurut saya pribadi, adalah pencapaian yang nggak kaleng-kaleng, menunjukkan kemajuan pola pikir masyarakat yang luar biasa.
Tantangan yang Masih Ada: Bukan Jalan Tol Bebas Hambatan
Meskipun gelombang ini membawa angin segar dan optimisme, bukan berarti perjalanannya mulus tanpa hambatan. Tantangan masih banyak membentang di depan mata. Pertama, aksesibilitas. Layanan kesehatan mental yang berkualitas, terutama yang dipegang oleh profesional berlisensi, itu seringkali mahal dan belum merata di seluruh pelosok negeri. Banyak daerah yang masih minim fasilitas dan tenaga ahli. Jadi, meskipun kesadarannya tinggi, kalau aksesnya susah, ya sama aja bohong, kan? Ibaratnya cuma bisa ngiler doang, nggak bisa nyobain.
Kedua, misinformasi dan overdosis informasi. Medsos memang bantu banget dalam menyebarkan kesadaran, tapi juga jadi sarang hoaks dan diagnosis mandiri yang keliru. Berapa banyak dari kita yang "merasa" punya gangguan mental ini itu setelah nonton video TikTok lima menit yang disimplifikasi? Validasi diri itu penting dan bisa bikin kita merasa nggak sendirian, tapi kalau kebablasan dan menggantikan diagnosis profesional, justru bisa berbahaya dan bikin penanganan jadi salah arah. Ketiga, masih ada sisa-sisa stigma, terutama di kalangan generasi yang lebih tua atau komunitas tertentu yang masih teguh memegang pandangan tradisional bahwa masalah mental itu cuma "kurang kuat iman" atau "malu-maluin keluarga". Mengedukasi mereka butuh kesabaran ekstra dan pendekatan yang lebih personal, bukan cuma dengan jargon-jargon modern.
Apa Selanjutnya? Mari Jaga Bara Api Ini Tetap Menyala
Jadi, di mana posisi kita sekarang di tengah gelombang kesadaran kesehatan mental ini? Kita sedang dalam proses. Proses panjang untuk menciptakan masyarakat yang lebih peduli, lebih empati, dan lebih menerima bahwa kesehatan mental itu adalah bagian integral dari kehidupan, sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Bukan lagi sekadar "penyakit orang kaya", "caper", "kurang kerjaan", atau "drama doang".
Untuk menjaga bara api kesadaran ini tetap menyala dan terus membesar, kita punya peran masing-masing. Mulai dari lebih bijak bersosial media, berani mencari bantuan profesional saat dibutuhkan (dan kalau mampu), tidak menghakimi orang lain yang sedang berjuang, sampai menjadi pendengar yang baik bagi teman atau keluarga yang sedang butuh ruang untuk bercerita. Pendidikan tentang kesehatan mental di sekolah, kampus, atau lingkungan kerja juga harus makin digalakkan, bukan cuma di hari-hari tertentu. Ini bukan cuma tanggung jawab pemerintah atau tenaga medis, tapi tanggung jawab kita semua sebagai individu yang ingin hidup di dunia yang lebih sehat secara lahir dan batin. Mari kita terus bergerak maju, karena jujur saja, dunia yang lebih waras itu bukan cuma impian, tapi kebutuhan yang mendesak bagi kita semua.
Next News

Kecemasan Sosial di Era Komunikasi Virtual
7 days ago

Dampak Pendidikan Online pada Perkembangan Remaja: Antara Layar dan Realita yang Makin Jauh?
7 days ago

Pendidikan Seks di Indonesia: Antara Ada dan Tiada
7 days ago

Generasi Z: Penjaga Tradisi di Era Digital?
7 days ago

Deru Mesin, Derasnya Hujan: Kisah Pak Budi, Pejuang Ojol yang Tak Kenal Menyerah di Bawah Langit Surabaya
7 days ago

Lawan Short Attention Span! Jauhi Medsos?
7 days ago

Ketika Scroll Jadi Diagnosis: Fenomena Self-Diagnose dari Media Sosial yang Ngeri-Ngeri Sedap
7 days ago

Kota Meluas, Hijau Menciut: Realita Pahit Generasi Kini
7 days ago

Terjebak Paradoks Digital: Koneksi Semu, Hati Hampa
7 days ago

Lagu Lama & Baju Y2K: Gelombang Nostalgia Menghantam!
7 days ago






