Ceritra
Ceritra Warga

Kota Meluas, Hijau Menciut: Realita Pahit Generasi Kini

Bagus - Wednesday, 12 November 2025 | 01:00 PM

Background
Kota Meluas, Hijau Menciut: Realita Pahit Generasi Kini

Pernahkah kalian merasa, dulu waktu kecil, di sudut kampung atau kompleks perumahan, masih ada lapangan kosong buat main bola atau sekadar tempat nongkrong sore-sore? Atau mungkin ada kebun kecil milik tetangga yang rimbun dengan pohon mangga dan jambu? Sekarang, coba deh tengok lagi tempat itu. Kemungkinan besar, lapangan itu sudah jadi ruko, kebun tetangga sudah disulap jadi deretan minimalis, atau parahnya, jadi pusat perbelanjaan yang megah. Ya, ini bukan sekadar nostalgia receh, tapi sebuah realitas pahit yang makin akrab dengan kehidupan kita: urbanisasi dan hilangnya ruang hijau.

Kota memang punya magnet yang luar biasa. Ibarat gadis cantik yang menarik perhatian banyak jejaka, kota menawarkan janji-janji manis: pekerjaan, pendidikan yang lebih baik, gaya hidup modern, dan segudang fasilitas yang katanya bisa bikin hidup lebih ‘layak’. Nggak heran kalau jutaan orang berbondong-bondong hijrah dari desa ke kota setiap tahunnya, meninggalkan tanah kelahiran demi mengejar secercah harapan di balik gedung-gedung pencakar langit. Data BPS saja menunjukkan bahwa persentase penduduk perkotaan di Indonesia terus meningkat drastis, dari yang dulunya cuma seiprit, sekarang sudah di atas 50%. Ibaratnya, setengah lebih penduduk Indonesia sekarang ngumpul di kota. Ini sih bukan main-main!

Tarikan Kota yang Menggoda dan Konsekuensinya

Wajar saja sih, siapa yang tidak tergiur dengan gemerlap kota? Bayangan jalanan lebar, pusat perbelanjaan serba ada, kafe-kafe kekinian, sampai peluang karier yang katanya lebih menjanjikan. Tapi, di balik semua tawaran menggiurkan itu, ada harga mahal yang harus dibayar, dan sayangnya, yang paling duluan jadi korban adalah ‘paru-paru’ kota itu sendiri: ruang hijau. Lapangan yang tadinya untuk main bola, kini berganti menjadi proyek apartemen. Pohon-pohon rindang di pinggir jalan, demi pelebaran jalan dan kelancaran lalu lintas, terpaksa ditebang. Taman kota yang dulunya jadi tempat piknik keluarga, seringnya digusur demi pembangunan infrastruktur yang lebih ‘urgent’.

Ini bukan cuma soal estetika, lho. Hilangnya ruang hijau ini bukan perkara remeh-temeh. Ada banyak fungsi vital yang ikut amblas bersamanya. Mulai dari penyerapan karbon dioksida yang notabene bikin udara kotor jadi bersih, sebagai daerah resapan air saat hujan deras, sampai habitat bagi flora dan fauna kecil yang sebenarnya juga punya peran penting dalam ekosistem kota. Ketika semua itu lenyap, yang tersisa cuma beton, aspal, dan polusi yang bikin kepala pening.

Bukan Sekadar Indah: Fungsi Ruang Hijau yang Terlupakan

Banyak dari kita mungkin berpikir ruang hijau itu cuma ‘pemanis’ kota. Sebuah ornamen biar kota nggak kelihatan gersang banget. Padahal, peran ruang hijau itu jauh lebih fundamental dari sekadar hiasan. Pernah dengar istilah ‘pulau panas perkotaan’ atau urban heat island? Nah, itu terjadi karena minimnya ruang hijau. Beton dan aspal itu menyerap dan memancarkan panas, bikin suhu di kota jauh lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya yang masih banyak pepohonan. Akibatnya? Udara jadi gerah, AC harus nyala terus, dan ujung-ujungnya tagihan listrik membengkak. Belum lagi saat hujan deras, kalau tidak ada pohon dan tanah untuk menyerap air, ya sudah, siap-siap saja langganan banjir!

Secara sosial dan psikologis, ruang hijau juga punya peran yang nggak bisa dipandang sebelah mata. Taman kota, misalnya, bukan cuma tempat nongkrong, tapi juga arena interaksi sosial, tempat anak-anak bermain, orang dewasa berolahraga, atau sekadar mencari ketenangan sejenak dari hiruk pikuk kota. Hilangnya ruang-ruang ini berarti hilangnya wadah bagi kita untuk ‘bernapas’ dan rekreasi. Jangan heran kalau tingkat stres di kota jadi makin tinggi, karena tidak ada lagi tempat untuk melarikan diri, bahkan untuk sesaat, ke pelukan alam.

Dampak yang Tak Main-Main untuk Kehidupan Kita

Dampak hilangnya ruang hijau ini serius banget, guys, bukan kaleng-kaleng. Coba bayangkan:

  1. Banjir dan Kekeringan: Tanpa pepohonan, air hujan langsung mengalir di permukaan, menyebabkan banjir. Saat musim kemarau, tidak ada cadangan air tanah karena minimnya resapan, berujung kekeringan. Sebuah ironi, ya?
  2. Polusi Udara: Kurangnya pohon berarti berkurangnya ‘penyaring’ udara. Udara kota jadi makin kotor dengan polusi kendaraan dan industri, meningkatkan risiko penyakit pernapasan.
  3. Suhu Ekstrem: Efek urban heat island bikin kota makin panas, penggunaan energi untuk pendingin ruangan meningkat, dan lingkungan jadi kurang nyaman.
  4. Masalah Kesehatan Mental: Studi menunjukkan bahwa akses ke ruang hijau dapat mengurangi stres, depresi, dan meningkatkan kesejahteraan mental. Kalau tidak ada, ya siap-siap saja mental kita ikut gersang.
  5. Hilangnya Keanekaragaman Hayati: Burung-burung, serangga, dan hewan kecil lainnya kehilangan tempat tinggal. Ekosistem jadi tidak seimbang.

Ini adalah PR banget bagi pemerintah dan juga kita sebagai masyarakat.Bisakah Kita Berdamai dengan Kota dan Alam?

Lantas, apakah kita hanya bisa pasrah melihat ruang hijau terus-terusan jadi korban pembangunan? Tentu saja tidak! Ada harapan kok. Banyak kota di dunia yang sudah mulai ‘sadar’ dan berupaya mengintegrasikan alam ke dalam desain perkotaan mereka. Konsep vertical garden, taman atap (rooftop garden), urban farming di lahan-lahan sempit, hingga pembangunan taman-taman kota yang terencana dan berkelanjutan, adalah beberapa solusi yang bisa diterapkan. Bahkan, ada juga yang mulai menerapkan konsep hutan kota (urban forest) di tengah-tengah gedung-gedung tinggi.

Kita sebagai warga kota juga punya peran penting. Mulai dari hal kecil seperti menanam pohon di pekarangan rumah, membuat pot-pot tanaman di balkon apartemen, sampai ikut serta dalam gerakan-gerakan penghijauan. Yang paling penting, kita harus punya kesadaran dan menyuarakan pentingnya ruang hijau dalam setiap perencanaan kota. Jangan sampai kita baru sadar ketika kota kita sudah jadi hutan beton yang bikin sesak napas. Karena pada akhirnya, kota yang lestari bukan hanya tentang gedung-gedung tinggi dan jalanan mulus, tapi juga tentang sejauh mana kita bisa hidup selaras dengan alam di dalamnya. Mari bersama-sama menjaga 'paru-paru' kota agar kita semua bisa bernapas lega.

Logo Radio
🔴 Radio Live