Ceritra
Ceritra Warga

Dampak Pendidikan Online pada Perkembangan Remaja: Antara Layar dan Realita yang Makin Jauh?

Bagus - Wednesday, 12 November 2025 | 03:00 PM

Background
Dampak Pendidikan Online pada Perkembangan Remaja: Antara Layar dan Realita yang Makin Jauh?

Masa pandemi kemarin itu, jujur aja, kayak kita semua lagi nonton film sci-fi tapi ternyata itu kenyataan. Mendadak, semua yang normal jadi nggak normal. Termasuk sekolah. Dari yang biasanya berangkat pagi, seragam rapi, ketemu teman-teman di kantin, terus tiba-tiba disuruh duduk manis di depan laptop atau HP. Namanya juga daring, kan. Pendidikan online ini bukan cuma mengubah cara belajar, tapi juga bener-bener nge-guncang dunia remaja yang lagi asyik-asyiknya mencari jati diri.

Awalnya sih, banyak yang excited. "Asyik, bisa rebahan sambil kelas!" atau "Nggak perlu mandi juga nggak apa-apa, yang penting on cam". Tapi, ya, kesenangan sesaat ini lama-lama mulai terasa beda. Ibarat kata, makan mie instan tiap hari enak di awal, tapi lama-lama bikin eneg juga. Apalagi buat remaja yang fase hidupnya itu lagi butuh banget interaksi sosial, sentuhan fisik, dan eksplorasi dunia nyata. Pendidikan online ini ibarat pedang bermata dua. Ada sisi positifnya, tapi sisi negatifnya, wah, bikin puyeng juga.

Sisi Terang: Keterampilan Baru dan Fleksibilitas ala Gen Z

Nggak bisa dipungkiri, ada banyak banget hal baik yang lahir dari era sekolah online ini. Pertama, jelas banget soal literasi digital. Remaja jadi auto-jago pakai Zoom, Google Meet, bikin presentasi online, atau kolaborasi dokumen secara virtual. Skill ini, jujur aja, penting banget di masa depan. Mereka jadi lebih familiar dengan teknologi dan nggak gagap lagi soal dunia maya.

Kedua, soal fleksibilitas. Beberapa teman mungkin merasa lebih betah belajar dengan ritme sendiri. Ada yang suka belajar malam, ada yang pagi. Mereka bisa mengatur jadwal dan mengakses materi kapan pun, di mana pun. Ini melatih kemandirian dan disiplin diri, lho, buat mereka yang emang udah punya fondasi itu.

Ketiga, ada juga momen-momen langka pas pandemi di mana keluarga jadi lebih sering kumpul. Mungkin awalnya agak canggung, tapi perlahan, waktu yang tadinya habis di jalan atau di sekolah, jadi dialokasikan buat interaksi di rumah. Plus, akses ke berbagai sumber belajar online jadi nggak terbatas. Dari tutorial di YouTube sampai webinar gratis, semuanya gampang dijangkau.

Sisi Gelap: Ketika Interaksi Sosial Jadi Barang Mewah

Nah, ini dia nih yang menurut gue jadi PR banget. Remaja itu kan makhluk sosial, ya. Fase ini tuh mereka lagi asyik-asyiknya membangun hubungan pertemanan, mengenal lingkungan, belajar empati, dan 'ngembaliin' diri mereka di antara teman sebaya. Nah, pas semuanya pindah ke layar, interaksi sosial itu jadi kayak barang mewah.

Coba deh bayangin, dulu pas sekolah offline, kita bisa ngakak bareng di kantin, bisik-bisik pas guru lagi jelasin, atau diskusi seru di perpus. Momen-momen random itu yang bikin kita belajar banyak hal: cara bernegosiasi, memahami bahasa tubuh teman, merasakan emosi orang lain, sampai sekadar nyontek bareng di bawah meja (eh, jangan ditiru ya!). Pas online, semua itu hilang. Yang ada cuma avatar di layar, suara putus-putus, dan sinyal yang kadang bikin kesel. Mau ngobrol receh aja, rasanya kok aneh kalau cuma lewat chat.

Ujung-ujungnya, banyak remaja yang merasa kesepian, terisolasi, bahkan auto-stress. Mereka jadi kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial yang esensial. Mereka nggak bisa lagi baca mimik muka teman, intonasi suara, atau gestur yang semuanya penting buat membangun komunikasi yang efektif. Ini bisa bikin mereka jadi canggung pas nanti balik ke dunia nyata.

Nggak cuma itu, kesehatan mental juga jadi taruhan. Terlalu lama di depan layar bisa bikin mata perih, kepala pusing, dan mood jadi gampang drop. Istilahnya 'zoom fatigue' itu bukan cuma mitos, lho. Belum lagi tekanan akademis yang kadang dirasa lebih berat karena minimnya supervisi langsung. Susah fokus, gampang ngantuk, dan godaan buat buka sosmed itu kayak magnet yang narik-narik terus. PR numpuk, materi nggak masuk, terus auto-gabut dan mager, deh.

Secara fisik, ini juga nggak kalah bahaya. Gaya hidup sedentari, kurang gerak, mata minus nambah, postur tubuh jadi bungkuk. Ini dampak yang nggak bisa kita anggap remeh. Dan yang paling krusial, fase remaja itu adalah masa pembentukan identitas. Mereka butuh interaksi dengan banyak orang di luar keluarga untuk tahu 'siapa aku ini'. Ketika interaksi itu terbatas, bisa jadi mereka kesulitan menemukan diri, merasa bingung, atau malah jadi terlalu bergantung pada dunia maya yang kadang nggak sesuai dengan realita.

Antara Realita dan Harapan: Menerima Perubahan, Mencari Solusi

Tentu aja, nggak semua remaja mengalami hal yang sama. Ada juga yang justru bersinar di era online ini, mungkin karena mereka memang introvert, atau punya dukungan keluarga dan fasilitas yang memadai. Tapi, kita nggak bisa menutup mata kalau mayoritas remaja, terutama di negara berkembang kayak kita, mengalami tantangan yang nggak kecil. Ini bukan cuma soal punya HP atau internet, tapi juga soal kualitas koneksi, lingkungan belajar di rumah, dan seberapa siap mental mereka menghadapi perubahan drastis ini.

Jadi, apa dong yang bisa kita lakukan? Ini jadi PR kita semua, bukan cuma pemerintah atau sekolah. Orang tua punya peran besar buat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, membatasi screen time yang nggak perlu, dan paling penting, mengajak anak-anak mereka ngobrol, bertukar cerita, dan memastikan mereka nggak merasa sendirian. Sekolah juga perlu berinovasi, nggak cuma mentransfer materi, tapi juga memikirkan cara agar interaksi sosial dan pengembangan karakter tetap bisa berjalan, meskipun secara virtual.

Mungkin, solusi terbaik itu ada di tengah-tengah. Kita nggak bisa lagi anti-teknologi, tapi juga nggak bisa sepenuhnya melepas diri dari pentingnya interaksi tatap muka. Konsep blended learning atau hybrid education mungkin bisa jadi jembatan yang pas. Menggabungkan efisiensi online dengan kekayaan interaksi offline. Supaya remaja kita nggak cuma jago di depan layar, tapi juga gercep dan empati di dunia nyata.

Dampak pendidikan online pada perkembangan remaja ini memang kompleks, nggak bisa cuma dilihat dari satu sisi. Tapi satu hal yang jelas: mereka adalah generasi yang paling merasakan langsung perubahan ini. Tanggung jawab kita adalah memastikan bahwa mereka tumbuh menjadi pribadi yang seimbang, punya keterampilan digital yang mumpuni, tapi juga punya hati dan kemampuan bersosialisasi yang nggak kalah penting. Jangan sampai pandemi bikin mereka 'offline' dari kehidupan sosial yang sesungguhnya. Mari kita ciptakan ruang di mana layar bisa jadi alat, bukan penghalang, untuk mereka berkembang seutuhnya. Karena masa depan bangsa ini ada di tangan mereka, dan mereka butuh lebih dari sekadar koneksi internet yang stabil.

Logo Radio
🔴 Radio Live