Deru Mesin, Derasnya Hujan: Kisah Pak Budi, Pejuang Ojol yang Tak Kenal Menyerah di Bawah Langit Surabaya
Bagus - Wednesday, 12 November 2025 | 02:00 PM


Surabaya. Kota pahlawan yang konon tak pernah tidur. Tapi coba bayangkan Surabaya saat langit menumpahkan segala isi perutnya. Bukan sekadar gerimis manja, ini hujan lebat yang bikin jalanan kota langsung berubah jadi sungai dadakan, pandangan mata cuma sebatas beberapa meter, dan semua orang rasanya pengen langsung nyari tempat berteduh sambil ngopi panas. Kita, yang mungkin lagi nyaman di balik selimut atau sambil nge-scroll media sosial, seringkali lupa bahwa di luar sana, ada banyak cerita perjuangan yang tak kenal ampun, bahkan di tengah derasnya guyuran hujan. Salah satunya adalah kisah Pak Budi, seorang pejuang ojol yang tiap hari banting tulang, menerjang badai, demi dapur rumah tetap ngebul.
Bukan Sekadar Jaket Oranye, Tapi Jubah Kesabaran
Pak Budi. Usianya mungkin sudah kepala empat, rambutnya mulai diselingi uban, tapi semangatnya? Jangan ditanya. Masih membara seperti mesin motor yang setia menemaninya puluhan ribu kilometer. Sudah hampir enam tahun Pak Budi menyandang jaket kebanggaan warna oranye itu, mengantar paket, makanan, atau kadang mengantar orang-orang yang buru-buru ke kantor atau pulang setelah lembur. Di tengah hari yang "normal" pun, pekerjaan ojol itu sudah penuh tantangan. Macetnya Surabaya, ngejar orderan, atau kadang ketemu pelanggan yang ‘ajaib’. Tapi semua itu levelnya beda jauh dengan tantangan saat hujan deras mengguyur. Pagi itu, langit Surabaya sudah murung sejak subuh. Aroma tanah basah dan petrichor yang biasanya menenangkan, kini bercampur dengan bau knalpot dan genangan air. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh, tapi suasana masih temaram, seolah mendung enggan pergi. Pak Budi sudah siap. Jas hujan berwarna biru dongker yang sudah agak pudar di beberapa bagian sudah terpasang rapi. Motor matic kesayangannya sudah dipanasi. Sebelum berangkat, ia sempat menengok ke dalam kamar, melihat istri dan kedua anaknya yang masih pulas. "Semoga hari ini rezeki lancar," bisiknya dalam hati, sebuah doa yang tak pernah absen tiap kali ia memutar kunci motor.
Medan Perang Baru di Jalanan Basah
Begitu keluar gang sempit tempat tinggalnya di daerah Wiyung, Pak Budi langsung disambut genangan air setinggi mata kaki. Motornya melaju pelan, membelah air, menciptakan riak-riak kecil yang langsung kembali ditelan genangan. Dingin mulai merasuk, menusuk kulit, tapi pikirannya lebih fokus pada layar ponsel yang terus menyala. Sesekali ia mengusap kaca helm yang mulai berembun, berusaha melihat jalanan di depannya yang samar-samar. "Aduh, ini pandangan zero visibility gini," gumamnya. Orderan pertama datang. Mengantar nasi goreng dari daerah Karang Pilang ke Gayungan. Jaraknya lumayan. Di kondisi normal, paling banter 15-20 menit. Tapi dengan hujan deras begini? Bisa lebih dari setengah jam, bahkan kadang satu jam jika terjebak macet genangan. Jalanan licin bukan main. Aspal yang tadinya hitam kini mengkilap memantulkan lampu kendaraan yang lalu lalang. Lubang-lubang jalanan yang biasanya bisa dihindari, kini bersembunyi di balik genangan air, siap menjebak ban motor siapa saja yang lengah. Pak Budi harus ekstra hati-hati, memelankan laju motornya, menjaga jarak, dan terus waspada. Setiap tikungan terasa lebih berbahaya. Setiap pengereman harus ekstra halus agar ban tidak selip. Belum lagi cipratan air dari bus atau truk yang lewat di sebelahnya. Kadang cipratan itu cukup deras sampai bikin sesak napas. Tapi tak ada pilihan. Pesanan harus sampai. Ada pelanggan yang kelaparan, dan ada juga poin yang harus didapatkan.
Setiap Tetes Hujan, Sebuah Pengingat Tanggung Jawab
"Kadang mikir juga, ini hujan kok nggak ada habis-habisnya," Pak Budi bercerita suatu waktu, saat ia berteduh sejenak di bawah atap minimarket. "Tapi mau gimana lagi, Mas. Kalau nggak jalan, ya nggak ada pemasukan. Anak-anak mau makan apa? Sekolah butuh uang jajan, SPP juga harus dibayar." Mata Pak Budi menerawang, memandang tetesan air hujan yang membentuk genangan di hadapannya. Di sana, seolah terpantul bayangan kedua anaknya yang senantiasa menanti kepulangannya. Bagi Pak Budi, hujan bukan halangan, tapi justru medan perang baru yang harus ditaklukkan. Bukan cuma soal fisik yang harus kuat menahan dingin dan kelelahan, tapi mental juga harus baja. Rasa frustasi karena orderan sepi, rasa kesal karena terjebak macet berjam-jam, atau rasa khawatir jika motornya mogok di tengah jalan. Semua itu harus ia telan mentah-mentah, demi keluarga. Seringkali, saat hujan paling deras, justru orderan makanan atau pengiriman barang malah membludak. Orang-orang malas keluar, mencari kenyamanan di rumah, dan mengandalkan para pejuang seperti Pak Budi. Tarif mungkin sedikit naik, tapi risikonya pun naik berkali-kali lipat. Ini yang bikin dilema. Antara ngejar target harian atau memilih aman. Tapi, mau tidak mau, Pak Budi sering memilih opsi pertama. Baginya, angka di layar ponsel itu bukan sekadar rupiah, melainkan senyum istri dan tawa anak-anaknya.
Senja dan Secangkir Kopi Hangat
Hari menjelang sore, dan hujan masih setia mengguyur Surabaya, meski intensitasnya mulai menurun. Pak Budi sudah basah kuyup, jas hujannya seolah tak mampu lagi menahan rembesan air. Kakinya terasa pegal, punggungnya sedikit nyeri, dan jari-jarinya kaku karena terus menggenggam setang motor di tengah dingin. Namun, ada kepuasan yang tak tergantikan. Beberapa orderan berhasil ia selesaikan, ratingnya tetap bagus, dan yang terpenting, target hari ini hampir tercapai. Sebelum pulang, Pak Budi menyempatkan diri mampir ke warung kopi pinggir jalan, memesan secangkir kopi hitam panas. Aroma kopi yang pekat dan hangatnya cangkir di tangannya seolah menjadi hadiah kecil setelah perjuangan seharian. Di sana, ia sesekali bersenda gurau dengan sesama driver ojol yang juga sedang berteduh, berbagi cerita lucu atau keluh kesah. Momen-momen seperti inilah yang membuatnya merasa tidak sendiri. Ada komunitas, ada solidaritas di antara mereka, para pejuang jalanan. Pulang ke rumah, disambut senyum istri dan pelukan hangat anak-anak, semua lelah Pak Budi rasanya langsung terbayar lunas. Melihat wajah polos kedua anaknya yang bertanya, "Ayah sudah makan?" atau "Ayah capek ya?", membuat Pak Budi sadar, bahwa apa yang ia lakukan ini adalah sebuah kehormatan, sebuah tugas mulia. Kisah Pak Budi hanyalah satu dari ribuan cerita serupa di kota metropolitan ini. Di balik setiap kenyamanan yang kita nikmati, ada ribuan tangan yang bekerja keras, tak peduli terik atau hujan. Mereka adalah pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa, tulang punggung kota yang seringkali luput dari perhatian kita. Jadi, lain kali jika kamu memesan ojol di tengah hujan, mungkin sesekali tengoklah raut wajah mereka. Berikan senyuman tulus, atau sekadar ucapan "Terima kasih, hati-hati di jalan ya, Pak/Bu." Percayalah, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat semangat mereka kembali membara, siap menerjang badai lagi. Karena bagi mereka, setiap tetes keringat dan setiap tetes hujan adalah bukti nyata sebuah perjuangan hidup.
Next News

Kecemasan Sosial di Era Komunikasi Virtual
7 days ago

Dampak Pendidikan Online pada Perkembangan Remaja: Antara Layar dan Realita yang Makin Jauh?
7 days ago

Pendidikan Seks di Indonesia: Antara Ada dan Tiada
7 days ago

Mental Health: Bukan Mitos, Bukan Kurang Iman!
7 days ago

Generasi Z: Penjaga Tradisi di Era Digital?
7 days ago

Lawan Short Attention Span! Jauhi Medsos?
7 days ago

Ketika Scroll Jadi Diagnosis: Fenomena Self-Diagnose dari Media Sosial yang Ngeri-Ngeri Sedap
7 days ago

Kota Meluas, Hijau Menciut: Realita Pahit Generasi Kini
7 days ago

Terjebak Paradoks Digital: Koneksi Semu, Hati Hampa
7 days ago

Lagu Lama & Baju Y2K: Gelombang Nostalgia Menghantam!
7 days ago






