Ceritra
Ceritra Kota

Gaza Berdarah: 25 Nyawa Terenggut, Sampai Kapan?

Elsa - Thursday, 20 November 2025 | 01:30 PM

Background
Gaza Berdarah: 25 Nyawa Terenggut, Sampai Kapan?

Dunia lagi-lagi disuguhi kabar pilu dari Jalur Gaza. Kementerian Kesehatan Palestina baru-baru ini merilis data yang bikin kita semua cuma bisa geleng-geleng kepala sekaligus menghela napas panjang: setidaknya 25 nyawa melayang dalam rentetan serangan brutal yang dilancarkan pasukan Israel. Angka 25 ini bukan sekadar statistik di atas kertas, kawan. Ini adalah 25 orang dengan kisah, mimpi, dan keluarga yang kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa orang terkasih mereka telah tiada. Jujur saja, mendengar kabar seperti ini, rasanya hati langsung ikut nyesek, ya.

Rentetan serangan yang dimaksud juga bukan serangan kaleng-kaleng. Kabarnya, insiden ini terjadi di berbagai wilayah di Gaza, menandakan intensitas konflik yang memang udah nggak bisa dipandang sebelah mata lagi. Coba bayangkan, di tengah kehidupan yang serba terbatas dan penuh perjuangan, tiba-tiba harus menghadapi dentuman bom, sirine yang meraung-raung, dan rasa takut yang mencekam. Ini bukan adegan film laga Hollywood yang bisa kita tonton lalu lupa. Ini adalah realita sehari-hari yang harus dihadapi oleh warga Gaza. Mereka yang meninggal dunia itu siapa saja? Bisa jadi seorang ayah yang sedang berjuang mencari nafkah, seorang ibu yang sedang menyiapkan makan malam untuk anak-anaknya, atau bahkan anak-anak yang polos bermain di halaman rumah. Mikirnya aja udah bikin bulu kuduk merinding, gimana rasanya ngalamin langsung?

Selain korban tewas yang bikin dada sesak, serangan-serangan ini juga menyisakan luka-luka fisik dan batin yang nggak sedikit bagi warga lainnya. Mereka yang berhasil selamat dari maut pun harus berjuang dengan cedera yang mungkin mengubah hidup mereka selamanya. Ada yang kehilangan anggota tubuh, ada yang luka parah, dan yang paling nggak terlihat tapi dampaknya gede banget adalah trauma psikologis. Bayangkan, tiap suara kencang, tiap bayangan pesawat melintas, bisa jadi pemicu ketakutan yang luar biasa. Gimana nggak stres, coba? Terutama anak-anak, mereka yang seharusnya mengenal dunia dengan tawa dan keceriaan, malah harus akrab dengan suara ledakan dan pemandangan kehancuran.

Kondisi ini makin memperparah krisis kemanusiaan yang memang sudah lama membelit Jalur Gaza. Wilayah yang sudah terkepung dan serba terbatas aksesnya ini, kini harus menghadapi gelombang kehancuran baru. Infrastruktur vital seperti rumah sakit, sekolah, bahkan jaringan air dan listrik, bisa jadi sasaran atau terdampak langsung. Bayangkan, mau berobat susah, mau belajar nggak bisa, bahkan sekadar mendapatkan air bersih atau listrik aja udah jadi barang mewah. Persediaan makanan juga otomatis terganggu, apalagi obat-obatan. Ini bukan cuma soal krisis yang sedang terjadi, tapi juga soal krisis yang diperparah secara brutal, bikin situasinya kayak makan bubur panas: serba sulit dan bikin bingung dari mana harus memulainya.

Warga Gaza, yang sebenarnya dikenal dengan ketabahan dan daya juang mereka yang luar biasa, kini dihadapkan pada ujian yang jauh lebih berat. Mereka harus mengungsi dari rumah-rumah mereka yang hancur, mencari perlindungan di tempat-tempat yang serba darurat, tanpa kepastian kapan bisa kembali atau bahkan apakah ada yang tersisa dari harta benda mereka. Hidup dalam ketidakpastian semacam ini, sambil terus dihantui rasa takut, jelas bukan hal yang mudah. Dunia ini kok seolah diam saja ya, melihat penderitaan yang nggak ada habisnya ini? Jujur aja, sebagai sesama manusia, kadang saya suka mikir, "Sampai kapan ya ini semua berakhir?"

Pemandangan puing-puing bangunan, tangisan anak-anak yang kehilangan orang tua, dan tatapan mata kosong para lansia yang putus asa, adalah realitas pahit yang terus berulang di Gaza. Ini bukan cerita fiksi yang bisa kita tutup bukunya kalau sudah bosan. Ini adalah kehidupan nyata bagi jutaan orang. Mereka punya hak untuk hidup damai, punya hak untuk bermimpi, sama seperti kita semua. Tapi, entah kenapa, hak-hak dasar itu seperti dicabut begitu saja dari mereka. Seakan-akan keberadaan mereka di dunia ini hanya untuk diuji dengan derita yang tak berkesudahan.

Mungkin kita, yang hidup di tempat yang relatif aman dan damai, sulit membayangkan bagaimana rasanya tidur dengan telinga waspada menunggu dentuman berikutnya. Atau bagaimana rasanya harus memikirkan apakah hari ini akan ada makanan di meja makan, atau apakah anak-anak akan aman saat bermain di luar. Ini bukan sekadar beban fisik, tapi juga beban mental yang luar biasa berat. Generasi yang tumbuh di Gaza, mau tidak mau, harus hidup dengan trauma kolektif yang mendalam. Efeknya? Mungkin akan terasa sampai puluhan tahun ke depan, membekas dalam ingatan mereka, bahkan mungkin memengaruhi bagaimana mereka melihat dunia.

Jadi, ketika kita mendengar angka 25 nyawa melayang ini, mari kita coba sedikit merenung. Angka itu bukan hanya deretan digit, melainkan representasi dari kehilangan yang tak terhingga. Kehilangan nyawa, kehilangan harapan, kehilangan masa depan. Ini adalah panggilan untuk kita semua, sebagai bagian dari komunitas global, untuk tidak abai. Untuk setidaknya, peduli. Karena penderitaan di Gaza itu nyata, dan krisis kemanusiaan di sana sudah mencapai taraf yang bikin kita semua harusnya merinding. Semoga saja ada secercah harapan, secercah perdamaian, yang bisa segera datang menghampiri mereka yang selama ini hanya mengenal perang dan kehancuran. Semoga, dunia tidak lagi menutup mata.

Logo Radio
🔴 Radio Live